MEMINIMALISIR RISIKO USAHA DENGAN MEMAHAMI SYARAT SAH KONTRAK

Post At : 16 Feb 2024 | On Category : Law and Policy


Bisnis adalah kegiatan memperjualbelikan barang atau jasa dengan tujuan memperoleh laba atau keuntungan. Dalam mencapai satu tujuan tersebut, banyak model dan cara berbisnis yang dilakukan oleh seorang pebisnis untuk mendapatkan keuntungan. Namun sayangnya, bahwa ternyata menentukan model dan strategi bisnis dengan mapan saja belum cukup untuk dapat menciptakan keuntungan dan menghindari kerugian. Tentu banyak hal yang dapat menjadi hambatan dan sebab timbulnya kerugian dalam perjalanan membangun usaha atau yang disebut dengan risiko usaha. Walaupun setiap usaha memang tidak bisa terhindarkan dari adanya risiko usaha, namun upaya untuk meminimalisir terjadinya hal tersebut tentu terdapat beberapa hal yang perlu dipahami, salah satunya adalah pemahaman terkait kontrak bisnis.

Kontrak bisnis memegang peran penting dalam dunia bisnis. Sebagaimana disampaikan oleh Guru Besar Hukum Kontrak Universitas Airlangga, Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H., bahwa setiap langkah bisnis adalah langkah hukum. Adapun keberadaan kontrak dalam kaitannya antara hukum dan bisnis adalah bahwa kontrak sebagai wadah hukum bagi para pihak yang melakukan kerja sama yakni dalam menuangkan hak dan kewajiban juga bertukar konsesi dan kepentingan yang kemudian kontrak ini menjadi landasan hukum dan bukti hukum terjadinya hubungan hukum di antara para pihak tersebut.

Terdapat banyak hal yang perlu diperhatikan oleh para pihak atau kuasa hukum dalam proses pembuatan hingga penyepakatan kontrak bisnis. Salah satunya adalah berkaitan dengan syarat-syarat kontrak. Syarat kontrak adalah hal utama yang perlu dipastikan keberadaannya atau terpenuhinya sebelum melakukan perancangan kontrak. Aturan terkait syarat kontrak tertuang dalam ketentuan Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek (BW), yakni:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

    Syarat ini tertuang dalam asas perjanjian yaitu asas konsensualisme yang artinya para pihak yang melakukan kerja sama atau yang membuat kontrak ini haruslah memiliki persesuaian kehendak. Artinya, tidak ada unsur paksaan, penipuan dan kekeliruan.

 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

           Cakap (bekwaam) adalah syarat umum seseorang dapat melakukan perbuatan hukum secara sah. Seseorang dapat dikatakan cakap hukum apabila tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 1330 BW, yaitu:

a.       Orang yang belum dewasa;

b.      Orang yang ditaruh di bawah pengampuan;

c.   Orang-orang perempuan yang telah kawin, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Namun ketentuan ini dihapus dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 31 UU a quo menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

      3. Suatu pokok persoalan tertentu;

         Suatu pokok tertentu adalah barang atau jasa yang menjadi objek suatu perjanjian. Pengertian tertentu dapat dipahami dengan Pasal 1333 BW, bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok/ objek berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

      4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

           Dijelaskan dalam Pasal 1337 BW, bahwa suatu sebab adalah telarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum. 

Adapun syarat yang pertama dan kedua merupakan syarat subjektif. Dalam hal apabila kedua atau salah satu dari syarat tersebut tidak terpenuhi, maka kontrak yang dibuat dapat dibatalkan (vernietigbaar). Artinya, ketika proses kerja sama di antara para pihak sudah berjalan diketahui ternyata ada hal-hal yang tidak sesuai dengan kesepakatan atau terdapat tipu daya saat pembuatan kontrak atau ternyata mitra bisnis adalah orang yang tidak cakap hukum, maka pihak yang mendapat tipu daya atau pihak yang dirinya cakap hukum dapat melakukan pengajuan ke Pengadilan untuk membatalkan perjanjian tersebut. Selain itu, pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut ganti rugi dan juga menuntut pemulihan. Namun, selama tidak ada pihak yang mengajukan pembatalan atas kontrak tersebut, maka kontrak tersebut tetap mengikat di antara para pihak yang membuatnya.

Sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah syarat objektif, dimana apabila salah satu atau kedua syarat tersebut tidak terpenuhi maka dampak hukumnya adalah batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dianggap ada kontrak atau perjanjian di antara para pihak. Kontrak yang batal demi hukum dapat terjadi tanpa dimintakan pengesahan atau putusan dari Pengadilan. Konsekuensi lanjutannya adalah apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban untuk mengembalikan apa yang telah diperolehnya, maka pihak lainnya yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan untuk mengembalikan keadaan sebagaimana semula sebelum terjadi perjanjian.

Hal inilah yang kemudian menjadi penting bagi para pebisnis ataupun kuasa hukum untuk dapat memahami bagaimana syarat kontrak harus dipenuhi sebelum memastikan membuat dan menandatangani kontrak kerja sama bisnis. (Inn)